Jumat, 18 Mei 2012

reaction #3

 

"And I never find any reason from not being proud of you."


“Azka, maaf banget ya tadi. Aduh, mata lo gapapa kan? Maaf...” kata Ihsan. Dari matanya bisa dilihat ia memang benar-benar merasa bersalah.
“Lo sih serius banget ngisi ulangannya. Jadinya gini kaan...” ujar Nayasa memojokkan Ihsan. Biasanya Ihsan tidak mau kalah bicara, tapi kali ini sepertinya tidak. Ia hanya sebentar melihat Nayasa, lalu beralih lagi padaku yang masih mengusap-usap mata.
“Aduuh beneran deh, maafin gue ya Ka...” Ihsan memelas, setengah berlutut di samping mejaku. Aku canggung dengan keadaan seperti ini. Jadi, aku memaksakan diri untuk bersikap biasa saja seolah mataku tidak sakit lagi.
“Iya. Ya udah, iya gue ngga papa kok. Iya iya gue maafin,” kataku cepat-cepat. Berharap Ihsan segera berlalu dan aku tidak usah sok kuat seperti ini.
Ihsan berdiri. Ya. Sesuai harapanku. Ia meminta maaf sekali lagi, aku mengangguk, dan akhirnya ia pun menjauh dariku lalu keluar kelas.
Setelah Ihsan pergi menjauh, Nayasa bertanya lagi.
“Eh, beneran tuh mata lo gapapa, Ka? Kalo kenapa-napa minta Ihsan tanggung jawab aja...” kata Nayasa sambil mengernyitkan dahinya, tapi pandangan matanya ke arah Ihsan yang sedang melewati pintu kelas.
“Haaduuuh, kalo gue bilang mata gue gapapa ya sebenernya sakit juga, Nay. Tapi ya udahlah, gue ga enak sama dia.”
“Kok jadi lo yang ga enak sama dia? Harusnya dia dong yang ga enak sama lo.”
“Ah, udah deh gapapa. Tinggal satu pelajaran. Abis itu juga gue bisa langsung pulang.” Aku mengakhiri dialog yang mulai tidak mengenakkan itu. Aku pun berdiri, berniat pergi ke toilet.
“Eh, eh...mau kemana, Ka?” tanya Nayasa.
“Toilet,” jawabku singkat.
Aku langsung berlalu keluar kelas. Ya, seperti hari-hari sebelumnya, ada hal-hal yang selalu membuat aku heran. Sembilan puluh persen kejadian dimana aku keluar atau masuk kelas, mataku langsung tertuju pada satu orang. Ya, siapa lagi. Orang yang tadi sudah melukai mata kiriku.
Kali ini Ihsan dan aku bertemu pandang. Apa? Tidak ada apa-apa. Tidak ada sesuatu yang istimewa, entah getar yang aneh ataupun suhu yang tiba-tiba mendingin. Semua biasa saja. Tapi sekarang ini, Ihsan sudah mendekat ke arahku.
“Azka!” panggil Ihsan. Itu panggilan yang nihil sebenarnya. Tanpa memanggilku pun aku sudah tahu dia mau bicara padaku.
“Apa?” tanyaku datar.
“Oi Ihsan!” Tiba-tiba ada seseorang di belakangku yang memanggil Ihsan. Aku menoleh. Ah, ternyata Aldi, teman sekelas kami “San, lo dipanggil sama Bu Rosi tuh,” kata Aldi.
“Dipanggil?” Ihsan bingung. Bu Rosi itu wali kelasku. Wali kelas Ihsan juga tentunya. Untuk apa dia dipanggil?, tanyaku dalam hati.
Kulihat Aldi hanya mengangkat bahu.
Aku bingung dengan keadaan seperti ini. Jadi, kuputuskan untuk mengabaikan panggilan Ihsan dan langsung pergi ke toilet. Sepertinya Ihsan pun sama bingungnya dengan aku, dari raut wajahnya ia seolah masih mau meneruskan pembicaraan denganku, tapi panggilan Bu Rosi cukup membuatnya mengurungkan niat untuk bicara padaku.
Eh, ternyata dugaanku salah. Ihsan sekarang malah di sebelahku. Aku lupa, toilet dan ruang guru kan searah.
“Dipanggil Bu Rosi ya?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku. Ah, ngaco banget sih lo, Ka. Nanya yang jawabannya udah jelas, pikirku kacau.
“Iya nih, ga tau kenapa,” jawab Ihsan ringan, lalu ia menoleh ka arahku. Aku pun menoleh.
“Palingan ada lomba,” kataku sok tau. Tapi memang itu dugaan yang paling mungkin. Orang seperti Ihsan amat sangat tidak bermasalah. Kecuali padaku.
“Mata lo merah, Ka.” Ihsan melihat lekat-lekat pada mata kiriku. Ah, lagi-lagi kondisi yang membuatku bingung harus bersikap seperti apa. Aku segera menutup mata kiriku dengan tanganku, lalu mengalihkan pandanganku dari mata Ihsan.
“Hah? Beneran merah, San?”
“Iya. Haduh, gara-gara gue tuh. Gimana dong?” Ihsan bingung sendiri.
“Ah, udah. Ga usah dipikirin. Gapapa kok.” Aku langsung berjalan cepat, meninggalkan Ihsan di belakangku. Ada yang aneh. Bahkan walaupun barusan Ihsan bilang mataku merah, aku seperti tak merasakan sakit itu lagi di mata kiriku. Sepertinya suhu udara saat itu jadi makin dingin. Aku pun bergidik. Ini aneh, sungguh aneh. Matahari sedang menyengat siang itu, tapi kenapa rasanya dingin?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar