Kamis, 24 Mei 2012

reaction #5

"Saksikanlah dan pahamilah sekelilingmu. Ingatlah bahwa tak ada yang mampu mengobati rasa sakit hatimu kecuali keikhlasan. Jangan dilihat seberapa sakit hatimu, tapi lihat seberapa sanggup kau memaafkan keadaan..."

Menjalani hidup sebagai siswi kelas dua belas adalah hal yang bisa berarti dua makna bagiku. Sama halnya dengan kebanyakan teman-temanku. Menjadi yang paling senior itu rasanya cukup menyenangkan. Tapi tak bisa dipungkiri, beban pun ada dan terasa di pundak ini. Beban untuk menyelesaikan sekolah, beban tanggung jawab kepada orangtua, dan beban tak terlihat lainnya. Be strong. God is The Best Director.

Berbicara tentang “menjadi kuat”, aku pun teringat satu cerita di masa lampau. Tentang salah satu episode tak diinginkan dalam sebuah skenario. Tentang aku yang dibutakan dengan keinginan dunia, tentang dia yang emosi entah mengapa, dan tentang mereka yang terbang lebih dahulu.

Menjalani sekolah tidak sesederhana seperti yang dulu aku pikirkan. Yah, aku akui, kesederhanaan itu efek dari menonton film-film ringan di televisi. Disana, mereka hanya menceritakan bagian menyenangkannya saja; persahabatan yang menjadi percintaan, pertengkaran yang menjadi percintaan, kesalahpahaman yang menjadi percintaan, semuanya berujung pada percintaan. Tapi pada kenyataannya, kehidupan tak sesimpel itu, pemirsa. Banyak hal yang harus aku lewati sebelum pada akhirnya aku bisa menikmati semuanya sebagai sebuah kenangan. No matter how bored you feel in the school is, you’ll always miss it when you leave. Damn, it’s true.

Hari itu akhirnya datang. Hari yang seharusnya besar untukku. Tapi takdir berbicara lain ternyata. Takdir yang membuat aku tidak mungkin menahan kelenjar lakrimalis-ku untuk mengeluarkan air mata yang sudah tidak terbendung. Takdir yang membuat aku merasa senyumku saat itu adalah senyum dengan beban seberat 1000 ton. Takdir yang membuat aku merasa ingin pingsan dan terbangun 7 tahun kemudian. Jika kau bilang ini berlebihan, silakan rasakan sendiri sensasinya.

“Udah, Azka...jangan nangis terus doong,” Indy berusaha menenangkanku yang masih terus sesenggukan. Aku tahu dia ingin mencoba mengerti perasaanku, tapi sayangnya keadaan kita berbeda. Aku berusaha tersenyum, meski rasanya senyum itu hanya bisa membuat bibirku robek. Ini menyakitkan, sungguh.
“Harusnya ngga kayak gini kan?!?!” tiba-tiba saja aku mendengar suara Ihsan mengomel di sebelahku. “Harusnya hasilnya bukan kayak gini kan?!?” Ihsan menoleh padaku yang dalam sekejap langsung menghentikan tangisanku.
Aku menatap mata Ihsan yang sungguh penuh amarah dan kebencian. “Gue yakin, Ka. Hasilnya ngga seharusnya begini! Harusnya semuanya…” omel Ihsan di depan wajah Azka.
“Ya udah, San! Walopun lo marah-marah kayak gitu, lo mau ngapain? Lo bisa apa buat ngubah semua hasilnya hari ini?!?” Indy ikut-ikutan naik darah dan berteriak di hadapan Ihsan.
Ihsan menghentakkan kakinya ke tanah, membuktikan kekesalannya yang sudah memuncak.
Aku hanya bertanya-tanya di sela tangisanku, “Dimana yang namanya keadilan?”. Akupun menghapus air mataku dan terus berusaha untuk tersenyum pada mereka yang beruntung.
“Gue ngerti, pasti beban lo lebih berat daripada beban gue. Tapi, jangan nangis lagi ya Rin. Buktiin kalo lo kuat.” Ihsan berbicara pelan di sampingku.
Setan menguasai hatiku saat itu. Aku hanya membalas nasihat dari Ihsan dengan ucapan,
“Keadaan kita berbeda, San. Lo menang dan gue kalah dengan cara yang ngga adil. Awalnya kita memang sama-sama berjuang, tapi semuanya berbeda saat lo dan yang lainnya harus maju duluan, meninggalkan gue, dan semuanya hanya karena sebuah ketidakadilan.” Aku menghela napas sejenak dan aku katakan lagi “Keadaan kita berbeda, San.” Satu tetes air mata pun jatuh lagi. Indy langsung menghapusnya, aku tersenyum nanar.

Ihsan menoleh ke arahku sebentar.
Lalu perkataannya kali ini berhasil mengusir jutaan bisikan setan di hatiku.

Selasa, 22 Mei 2012

reaction #4

"Bersyukurlah, karena hidup tak akan pernah sempurna"


Matahari yang jingga kemerahan mulai meredupkan sinarnya di horizon barat sana. Berganti tugas dengan bulan untuk menyinari bumi ini. Tak lebih dari satu jam, cahaya matahari benar-benar sudah tergantikan dengan cahaya bulan yang tak kalah indah, meski cahaya bulan itu semu. Pemberian dari sang matahari. Memang selalu ada yang istimewa dari ciptaanMu, Tuhan.
Adzan maghrib mulai berkumandang. Ah, terasa damainya. Adzan selalu mengingatkanku pada nasihat ringan sahabatku, Nayasa. Dia memang unik. Dia bisa menjadi sangat bijak atau bahkan sangat konyol. Dia pernah berkata padaku,

“Eh, udah adzan tuh. Allah manggil kita buat shalat, belum manggil kita buat pulang. Yuk, shalat dulu,” kata Nayasa sambil bangkit dari duduknya saat dia menginap di rumahku beberapa bulan yang lalu. Awalnya aku mengernyit tidak mengerti, belum manggil kita buat pulang? Tapi hanya dalam hitungan detik, aku pun mengerti. Aku hanya tersenyum. Ah, Nayasa. Nasihat ringan yang luar biasa.

Satu dari beberapa hal yang patut aku syukuri adalah bahwa aku dilahirkan dari keluarga yang berkecukupan. Aku tidak perlu takut memikirkan makan apa aku hari ini atau memikirkan apakah aku bisa melanjutkan sekolah sampai ke perguruan tinggi. Allah memberi kami rezeki yang cukup. Ini nikmat yang luar biasa. Aku memang bukan manusia sempurna. Tidak ada manusia sempurna, bukan? Aku hanya sedang mencoba mensyukuri apa yang ada, bukan menyesali apa yang terjadi. Aku selalu berdoa agar setiap kebahagiaan yang aku dapatkan hari ini bukanlah kesedihan yang akan aku dapatkan di masa depan. Hidup ini terus berputar, sehingga apapun bisa terjadi. Ya, aku adalah aku. Satu diantara ribuan, jutaan, puluh jutaan, milyaran orang yang masih diberi kesempatan untuk melihat dengan dua mata yang bisa melihat betapa indahnya dunia ini, dua telinga yang masih bisa mendengar syahdunya gemericik air wudhu, dua kaki yang masih bisa berfungsi dengan baik supaya aku bisa menikmati hidupku, satu hidung yang masih bisa menghirup segarnya udara pagi, satu mulut yang masih bisa berbicara untuk mengejar dan memprotes arti sebuah keadilan, dan juga dua tangan yang masih bisa menuliskan semua cerita hidup ini.

Jadi, apa yang harus aku keluhkan? Jawabnya adalah “tidak ada”.

Jumat, 18 Mei 2012

reaction #3

 

"And I never find any reason from not being proud of you."


“Azka, maaf banget ya tadi. Aduh, mata lo gapapa kan? Maaf...” kata Ihsan. Dari matanya bisa dilihat ia memang benar-benar merasa bersalah.
“Lo sih serius banget ngisi ulangannya. Jadinya gini kaan...” ujar Nayasa memojokkan Ihsan. Biasanya Ihsan tidak mau kalah bicara, tapi kali ini sepertinya tidak. Ia hanya sebentar melihat Nayasa, lalu beralih lagi padaku yang masih mengusap-usap mata.
“Aduuh beneran deh, maafin gue ya Ka...” Ihsan memelas, setengah berlutut di samping mejaku. Aku canggung dengan keadaan seperti ini. Jadi, aku memaksakan diri untuk bersikap biasa saja seolah mataku tidak sakit lagi.
“Iya. Ya udah, iya gue ngga papa kok. Iya iya gue maafin,” kataku cepat-cepat. Berharap Ihsan segera berlalu dan aku tidak usah sok kuat seperti ini.
Ihsan berdiri. Ya. Sesuai harapanku. Ia meminta maaf sekali lagi, aku mengangguk, dan akhirnya ia pun menjauh dariku lalu keluar kelas.
Setelah Ihsan pergi menjauh, Nayasa bertanya lagi.
“Eh, beneran tuh mata lo gapapa, Ka? Kalo kenapa-napa minta Ihsan tanggung jawab aja...” kata Nayasa sambil mengernyitkan dahinya, tapi pandangan matanya ke arah Ihsan yang sedang melewati pintu kelas.
“Haaduuuh, kalo gue bilang mata gue gapapa ya sebenernya sakit juga, Nay. Tapi ya udahlah, gue ga enak sama dia.”
“Kok jadi lo yang ga enak sama dia? Harusnya dia dong yang ga enak sama lo.”
“Ah, udah deh gapapa. Tinggal satu pelajaran. Abis itu juga gue bisa langsung pulang.” Aku mengakhiri dialog yang mulai tidak mengenakkan itu. Aku pun berdiri, berniat pergi ke toilet.
“Eh, eh...mau kemana, Ka?” tanya Nayasa.
“Toilet,” jawabku singkat.
Aku langsung berlalu keluar kelas. Ya, seperti hari-hari sebelumnya, ada hal-hal yang selalu membuat aku heran. Sembilan puluh persen kejadian dimana aku keluar atau masuk kelas, mataku langsung tertuju pada satu orang. Ya, siapa lagi. Orang yang tadi sudah melukai mata kiriku.
Kali ini Ihsan dan aku bertemu pandang. Apa? Tidak ada apa-apa. Tidak ada sesuatu yang istimewa, entah getar yang aneh ataupun suhu yang tiba-tiba mendingin. Semua biasa saja. Tapi sekarang ini, Ihsan sudah mendekat ke arahku.
“Azka!” panggil Ihsan. Itu panggilan yang nihil sebenarnya. Tanpa memanggilku pun aku sudah tahu dia mau bicara padaku.
“Apa?” tanyaku datar.
“Oi Ihsan!” Tiba-tiba ada seseorang di belakangku yang memanggil Ihsan. Aku menoleh. Ah, ternyata Aldi, teman sekelas kami “San, lo dipanggil sama Bu Rosi tuh,” kata Aldi.
“Dipanggil?” Ihsan bingung. Bu Rosi itu wali kelasku. Wali kelas Ihsan juga tentunya. Untuk apa dia dipanggil?, tanyaku dalam hati.
Kulihat Aldi hanya mengangkat bahu.
Aku bingung dengan keadaan seperti ini. Jadi, kuputuskan untuk mengabaikan panggilan Ihsan dan langsung pergi ke toilet. Sepertinya Ihsan pun sama bingungnya dengan aku, dari raut wajahnya ia seolah masih mau meneruskan pembicaraan denganku, tapi panggilan Bu Rosi cukup membuatnya mengurungkan niat untuk bicara padaku.
Eh, ternyata dugaanku salah. Ihsan sekarang malah di sebelahku. Aku lupa, toilet dan ruang guru kan searah.
“Dipanggil Bu Rosi ya?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku. Ah, ngaco banget sih lo, Ka. Nanya yang jawabannya udah jelas, pikirku kacau.
“Iya nih, ga tau kenapa,” jawab Ihsan ringan, lalu ia menoleh ka arahku. Aku pun menoleh.
“Palingan ada lomba,” kataku sok tau. Tapi memang itu dugaan yang paling mungkin. Orang seperti Ihsan amat sangat tidak bermasalah. Kecuali padaku.
“Mata lo merah, Ka.” Ihsan melihat lekat-lekat pada mata kiriku. Ah, lagi-lagi kondisi yang membuatku bingung harus bersikap seperti apa. Aku segera menutup mata kiriku dengan tanganku, lalu mengalihkan pandanganku dari mata Ihsan.
“Hah? Beneran merah, San?”
“Iya. Haduh, gara-gara gue tuh. Gimana dong?” Ihsan bingung sendiri.
“Ah, udah. Ga usah dipikirin. Gapapa kok.” Aku langsung berjalan cepat, meninggalkan Ihsan di belakangku. Ada yang aneh. Bahkan walaupun barusan Ihsan bilang mataku merah, aku seperti tak merasakan sakit itu lagi di mata kiriku. Sepertinya suhu udara saat itu jadi makin dingin. Aku pun bergidik. Ini aneh, sungguh aneh. Matahari sedang menyengat siang itu, tapi kenapa rasanya dingin?

Rabu, 16 Mei 2012

reaction #2

I’m different. Don’t you know how much I force myself to ressist this feeling?


Dua April, 8 tahun yang lalu.

“Azka, Azka, gue pinjem tip-x dong!” Suara Ihsan di belakangku cukup membuat konsentrasiku buyar untuk menghitung angka-angka yang berserakan di atas kertas ulangan matematikaku. Aku pun menoleh, menampakkan wajah apa-lo-ganggu-gue-aja pada Ihsan.
“Pinjem tip-x cepetan...” pinta Ihsan lagi sambil mengulurkan tangannya.
Aku hanya menghela napas sebentar, memaklumi gangguan Ihsan, memberikan tip-x yang dimintanya, lalu kembali lagi mengumpulkan konsentrasi ulangan matematika hari itu.
Gangguan itu tidak berlangsung satu kali ternyata. Kali ini temanku yang duduk di depanku, Arul, berbisik juga, meminjam tip-x juga, dan tentu saja membuyarkan konsentrasiku juga.
“Ada di Ihsan tuh,” kataku singkat, tetap menatap kertas ulangan. Arul kemudian berbisik meminta tip-x itu pada Ihsan. Tapi memang dasar orang yang bernama Ihsan itu sungguh terlalu pintar, dia tidak menggubris bisikan Arul, seolah dia tidak mendengar atau memang benar-benar tidak mendengar saking seriusnya dengan soal ulangan di depannya.
“Azka, tolong ambilin dong...” pinta Arul, menunjuk-nunjuk pada tip-x yang tergeletak di atas meja Ihsan.
Oh God, ini kenapa sih orang-orang ngeganggu gue mulu? Hadooh...makanya, modal dikit buat beli tip-x kenapa siiih.
Aku pun menyerah pada tampang memelas Arul. Aku menoleh ke belakang, berniat mengambil tip-x, tapi ternyata...
BUUUKK!!!
“Aaaaww!!!” aku mengerang, tetapi tetap berusaha mengeluarkan suara sesedikit mungkin. Aku menoleh bersamaan dengan tangan Ihsan yang mengulur memberikan tip-x padaku. Alhasil, mataku terantuk tip-x yang dipegang Ihsan. Oh Allah, ini menyakitkan, sungguh.
Dengan adanya kejadian itu, akhirnya Ihsan mengalihkan pandangannya dari kertas ulangan matematika ke arahku yang sedang menahan sakit sekaligus erangan supaya tidak mengganggu yang lain yang sedang serius ulangan. Ihsan terkejut lalu menarik uluran tangannya lagi. Arul hanya bisa melongo, dari wajahnya ia terlihat cukup merasa bersalah karena ia memaksaku mengambilkan tip-x untuknya. Nayasa, teman sebangkuku hanya bisa mengernyit seperti sama-sama merasakan sakitnya mata kiriku.
“Eeh, sorry sorry, Ka. Maaf. Ngga sengaja...” ucap Ihsan, menampakkan wajah yang sama bersalahnya dengan Arul. “Aduh, mata lo ga papa kan?” tanya Ihsan.
Aku tidak menjawab. Boro-boro untuk menjawab, aku sibuk menggigit bibirku supaya tidak mengeluarkan erangan keras. Aku hanya membenarkan posisi dudukku sambil terus mengusap-usap mata kiriku. Nayasa mengusap bahuku, menanyakan hal yang sama dengan apa yang ditanyakan Ihsan, aku pun hanya mengangguk pelan.
“Nay, maaf ini tip-x nya tolong kasihin ke Arul,” kata Ihsan sambil memberikan tip-x ku pada Nayasa. Nayasa pun mengambilnya dan memberikan tip-x itu pada Arul.
Konsentrasiku pada ulangan matematika hari itu benar-benar sudah buyar. Aku masih menahan sakit di mata kiriku sambil berusaha membuka mataku pelan-pelan. Aku sudah cukup parno jika saja ada sesuatu yang buruk yang terjadi pada mata kiriku. Tapi alhamdulillah, itu hanya paranoidku saja. Walaupun sedikit buram, aku yakin itu hanya karena air mata, bukan karena apa-apa. Yeah, never mind, Ihsan. I’m alright.
Aku kembali pada kertas ulanganku. Hmm...ya, I’m alright. But, not for my exam! Aku hanya bisa menggeram, berharap bisa membalas perlakuan Ihsan barusan. Tapi, ah, tidak penting. Begitu saja masa dendam? Konyol.
Kurang dari 15 menit ulangan matematika itu pun berakhir. Aku pasrah. Entah apa hasilnya ulanganku yang barusan itu. Mata kiriku masih cenat-cenut. Masih berasa sakitnya. Arul minta maaf padaku, tapi kubilang itu bukan salah dia. Memang iya, bukan salah dia. Memang dasar si Ihsan yang terlalu serius pada ulangannya sampai-sampai tak mau merelakan beberapa detik saja waktu ulangannya untuk memberikan tip-x itu secara baik-baik pada Arul. Memang dasar gila prestasi!
“Beneran gapapa kan mata lo, Ka?” tanya Nayasa khawatir.
Aku mengusap lagi mata kiriku.
“Masih berasa sakitnya sih...” keluhku.
Tiba-tiba Ihsan menghampiriku, ia baru saja mengumpulkan kertas ulangannya yang sangat penuh dengan isian. Memang maniak pelajaran!, pikirku.

Senin, 14 Mei 2012

reaction #1

Welcome to the world.
Where everything is temporary here. Everything you want, nothing last forever.

You have to learn that sometimes it isn’t love. That is just a feeling, a sudden feeling, and
you just overreacted.

Semuanya berawal dari pertemuan biasa. Sangat biasa. Tidak ada yang spesial. Tidak seperti di film-film roman, kami bertemu karena bertabrakan lalu berpandangan lalu ada sesuatu yang bervibrasi. Tidak juga seperti di FTV, kami bertemu karena suatu kebetulan yang menyebalkan lalu bertengkar, saling benci-bencian malah berakhir jadi percintaan. Tidak seperti itu. Semuanya berlangsung biasa. Tapi, sebiasa apapun suatu cerita, aku selalu ingin tahu apa akhirnya.
Dia pun biasa, tidak sempurna. Tapi bagiku, hidupnya sangat sempurna. Bagaimana tidak? Dia pintar, cerdas malah, dia punya banyak teman yang amat sangat peduli padanya, dia taat pada agamanya, dia punya keluarga yang harmonis, dan dia -sepertinya- tak usah khawatir pada masa depannya yang sudah jelas-jelas terang benderang. Kalaupun memang ada seseorang yang menyukainya karena wajahnya, itu tidak membuatku heran. Dia, hmmm...cukup. Sungguh, aku tidak terpaksa mengatakannya. Jadi, bisa dipastikan, namanya selalu istimewa. Ihsan.
Beralih dari dia dan hidupnya yang sangat sempurna. Aku dan hidupku biasa saja. Tidak setiap hari ada sesuatu yang istimewa tapi tidak juga masalah yang luar biasa. Jika mereka bilang life is never flat, tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah ternyata. Kadang, aku merasa datar. Datar dalam hidup, maksudku. Ya. Aku ini tidak seistimewa dia. Aku biasa saja. Aku memang berusaha untuk bisa menjadi yang terbaik, tapi aku pikir itu cukup sulit, sangat sulit malah, saat dia datang di hidupku dan menyelesaikan banyak masalah dengan sangat tampannya. He’s too brilliant to be defeated. Jadi, aku putuskan, biar saja aku jadi orang yang unik. Tidak ada parameter yang jelas tentang keunikan seseorang kan? Jadilah berbeda. Perkenalkan, aku Azka.
Sudah bisa dilihat kan betapa jelasnya perbedaan antara aku dan dia? Aku sangsi, tapi aku selalu ingin tahu bagaimana akhirnya. Entah itu bahagia, atau justru membuatku menyesal ingin mengetahui bagaimana akhirnya.

Minggu, 13 Mei 2012

Pharmaddiction!

After the show, no word to say except : TERHARU.

Demi apapun saya terharu, pemirsah. Rasanya semua kebahagiaan menggebu, memenuhi rongga dada sampai rasanya sesak sesesak-sesaknya. Then I create a smile without limit. Alhamdulillah. Pharmaddiction is over, but I still can feel the sensation! You rock, guys! \m/

Setelah sekian banyak kedilemaan, saya memilih tetap datang. Setelah sekian banyak keputusasaan, saya memilih tetap bertahan. Dan setelah sekian banyak peluh yang tercucurkan, saya memilih tetap menyaksikan hasilnya. It's what I call "no sweet before sweat"! 

Yeah, we got the sweet after the sweat!

Ngga nyangka. Sejujurnya saya bener-bener ngga nyangka hasilnya akan semeriah ini. Well, saya akui ini pensi pertama saya. Pentas-pentas sebelumnya adalah pentas seni yang homogen, yang tak kalah megahnya, dan tak kalah memorinya. Tapi kali ini, rasanya seperti menyatukan pasir-pasir di padang Saudi Arabia; rasanya seperti berhasil 100% membuat emulsi, menyatukan minyak dan air; rasanya seperti dapat nilai 100 di ujian farfis; dan rasanya seperti dapat IPK 4 di Farmasi! 


Thanks Allah, for this another great excellent unforgettable moment. :D

Setelah 22 kali rapat pimpinan, setelah banyaknya konflik dari berbagai penjuru, setelah melimpahnya tekanan dari berbagai sisi, setelah bertaburnya segala tangis dan pedih, setelah jatuh bangunnya ngedanus seangkatan, setelah itu semua. Maka, pentas berlangsung begitu megahnya. 

It's absolutely true that you unite us no matter what!
:')  

Selasa, 08 Mei 2012

untitled

Oh Allah, what should I do?

Minggu, 06 Mei 2012

gadis kecil dengan amanah besar

Mendengar judul postingan kali ini, saya cukup geli juga. Biarlah.

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!
MasyaAllah, Subhanallah.

Yak, dear my public diary...
Sejujurnya ini sangat membuat saya penat. Pusing. Bingung. Stress. Semuanya bercampur jadi satu~~

Terus bisikan itu datang lagi.
Wa maa alladzatu illa ba'da ta'bi.
No sweet before sweat.

Well, the list is written down. Check it out!
  1. Staff Direktorat PSDM BEM Kemafar UNPAD
  2. Kadiv RTM Pharma 2012
  3. Staff Divisi PADI Ismafarsi 2012
  4. Sekretaris 2 Pharmaddiction 2012
  5. Staff Pubdok Patient Counseling Event 2012
  6. Kadiv Pubdok Musyawarah Wilayah Ismafarsi Bandung Raya 2012
  7. Sekretaris Training For Delegation 2012
  8. Sekretaris 2 Pharma Fair 2012
  9. Staff Acara Biding APPS 2014
  10. Staff Acara Muslim Students Gathering 2012
  11. Staff PWDO for AMRS 2012
Sebelas amanah, ternyata sodara-sodara. Saya pengen muntah liat daftarnya juga. Dari kesekian amanah itu, sering ada tabrakan jadwal dan saya pusing dan saya pengen bikin Horcrux jadinya. Tapi yaa sudahlah yaa...jalani saja, berikan yang terbaik. Karena sesungguhnya tak ada keringat yang tak dibayar. Pengalamannya itu yang tak bisa dibeli.


Keep moving on!
"Life is like riding a bicycle. In order to keep your balance, you must keep moving."