Rabu, 16 Mei 2012

reaction #2

I’m different. Don’t you know how much I force myself to ressist this feeling?


Dua April, 8 tahun yang lalu.

“Azka, Azka, gue pinjem tip-x dong!” Suara Ihsan di belakangku cukup membuat konsentrasiku buyar untuk menghitung angka-angka yang berserakan di atas kertas ulangan matematikaku. Aku pun menoleh, menampakkan wajah apa-lo-ganggu-gue-aja pada Ihsan.
“Pinjem tip-x cepetan...” pinta Ihsan lagi sambil mengulurkan tangannya.
Aku hanya menghela napas sebentar, memaklumi gangguan Ihsan, memberikan tip-x yang dimintanya, lalu kembali lagi mengumpulkan konsentrasi ulangan matematika hari itu.
Gangguan itu tidak berlangsung satu kali ternyata. Kali ini temanku yang duduk di depanku, Arul, berbisik juga, meminjam tip-x juga, dan tentu saja membuyarkan konsentrasiku juga.
“Ada di Ihsan tuh,” kataku singkat, tetap menatap kertas ulangan. Arul kemudian berbisik meminta tip-x itu pada Ihsan. Tapi memang dasar orang yang bernama Ihsan itu sungguh terlalu pintar, dia tidak menggubris bisikan Arul, seolah dia tidak mendengar atau memang benar-benar tidak mendengar saking seriusnya dengan soal ulangan di depannya.
“Azka, tolong ambilin dong...” pinta Arul, menunjuk-nunjuk pada tip-x yang tergeletak di atas meja Ihsan.
Oh God, ini kenapa sih orang-orang ngeganggu gue mulu? Hadooh...makanya, modal dikit buat beli tip-x kenapa siiih.
Aku pun menyerah pada tampang memelas Arul. Aku menoleh ke belakang, berniat mengambil tip-x, tapi ternyata...
BUUUKK!!!
“Aaaaww!!!” aku mengerang, tetapi tetap berusaha mengeluarkan suara sesedikit mungkin. Aku menoleh bersamaan dengan tangan Ihsan yang mengulur memberikan tip-x padaku. Alhasil, mataku terantuk tip-x yang dipegang Ihsan. Oh Allah, ini menyakitkan, sungguh.
Dengan adanya kejadian itu, akhirnya Ihsan mengalihkan pandangannya dari kertas ulangan matematika ke arahku yang sedang menahan sakit sekaligus erangan supaya tidak mengganggu yang lain yang sedang serius ulangan. Ihsan terkejut lalu menarik uluran tangannya lagi. Arul hanya bisa melongo, dari wajahnya ia terlihat cukup merasa bersalah karena ia memaksaku mengambilkan tip-x untuknya. Nayasa, teman sebangkuku hanya bisa mengernyit seperti sama-sama merasakan sakitnya mata kiriku.
“Eeh, sorry sorry, Ka. Maaf. Ngga sengaja...” ucap Ihsan, menampakkan wajah yang sama bersalahnya dengan Arul. “Aduh, mata lo ga papa kan?” tanya Ihsan.
Aku tidak menjawab. Boro-boro untuk menjawab, aku sibuk menggigit bibirku supaya tidak mengeluarkan erangan keras. Aku hanya membenarkan posisi dudukku sambil terus mengusap-usap mata kiriku. Nayasa mengusap bahuku, menanyakan hal yang sama dengan apa yang ditanyakan Ihsan, aku pun hanya mengangguk pelan.
“Nay, maaf ini tip-x nya tolong kasihin ke Arul,” kata Ihsan sambil memberikan tip-x ku pada Nayasa. Nayasa pun mengambilnya dan memberikan tip-x itu pada Arul.
Konsentrasiku pada ulangan matematika hari itu benar-benar sudah buyar. Aku masih menahan sakit di mata kiriku sambil berusaha membuka mataku pelan-pelan. Aku sudah cukup parno jika saja ada sesuatu yang buruk yang terjadi pada mata kiriku. Tapi alhamdulillah, itu hanya paranoidku saja. Walaupun sedikit buram, aku yakin itu hanya karena air mata, bukan karena apa-apa. Yeah, never mind, Ihsan. I’m alright.
Aku kembali pada kertas ulanganku. Hmm...ya, I’m alright. But, not for my exam! Aku hanya bisa menggeram, berharap bisa membalas perlakuan Ihsan barusan. Tapi, ah, tidak penting. Begitu saja masa dendam? Konyol.
Kurang dari 15 menit ulangan matematika itu pun berakhir. Aku pasrah. Entah apa hasilnya ulanganku yang barusan itu. Mata kiriku masih cenat-cenut. Masih berasa sakitnya. Arul minta maaf padaku, tapi kubilang itu bukan salah dia. Memang iya, bukan salah dia. Memang dasar si Ihsan yang terlalu serius pada ulangannya sampai-sampai tak mau merelakan beberapa detik saja waktu ulangannya untuk memberikan tip-x itu secara baik-baik pada Arul. Memang dasar gila prestasi!
“Beneran gapapa kan mata lo, Ka?” tanya Nayasa khawatir.
Aku mengusap lagi mata kiriku.
“Masih berasa sakitnya sih...” keluhku.
Tiba-tiba Ihsan menghampiriku, ia baru saja mengumpulkan kertas ulangannya yang sangat penuh dengan isian. Memang maniak pelajaran!, pikirku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar