Senin, 03 Desember 2012
Senja yang sempurna
Dan semuanya akan terasa istimewa juga sempurna saat kita melihatnya dari sudut pandang yang sederhana dan penuh kebersyukuran. Seperti saat ini. Saat alam mulai menyambut senja. Senja yang sempurna. Berkolaborasi dengan matahari terbenam di horizon barat sana. Menyaksikan kemenangan kita bersama.
Minggu, 09 September 2012
Sangkaan yang baik :)
“Hidup itu tentang bertahan pada sangkaan yang baik, bahwa someday akan ada something yang awesome.”
(Achmad Lutfi)
...and someone yang handsome, mungkin?
Haha #random
Jumat, 31 Agustus 2012
Tega sekali buku ini
Tidak ada yang salah dengan malam ini. Hanya saja tiba-tiba hasrat menulis itu datang lagi, membuatku tidak konsentrasi menonton film, membaca novel, atau bahkan menikmati hujan dan menghirup wangi tanah setelahnya.
Tega sekali buku ini. Menyebut namamu berkali-kali. Membuat munculnya gempa di hati.
Sama halnya saat tiba-tiba aku menemukan cerpen di tumblr, terpesona dengan cara sang penulis menggambarkan siapa pemeran utama dalam cerita itu. Hanya beda satu huruf. Dalam cerita itu, sepertinya penulis berbakat itu cadel. Haha. Tapi, apa peduliku? Yang penting deskripsinya sama.
Tapi sebenarnya inti tulisan ini bukanlah itu. Sedikit random? Biarlah. Sepertinya aku sedang sedikit gila.
Dan satu buku lagi.
Kali ini sang penulis berhasil membuat aku mengelilingi kota penuh kenangan itu. Biar saja apa kata orang tentang kota yang penuh kepenatan dan surga kemacetan itu. Yang penting aku selalu punya kesan yang sama. Selalu menarik.
Tidak lupa buku terakhir.
Alur ceritanya sungguh sangat simpel. Aku cukup terkesan dengan kalimat terakhirnya.
Apa maksudnya sih semua ini? Buku-buku yang aku baca bukannya menghilangkan segala memoar, malah membangkitkannya kembali, memberi ruang yang lebih luas...hingga gumpalan istimewa yang selalu diistimewakan itu semakin mengakar, sulit ditebas.
Baiklah.
Senin, 27 Agustus 2012
Jadi, apa yang punya jarak?
"Dan kekalahan adalah tanda bahwa kita harus memperbaiki diri."
Saya tidak sedang merasa kalah. Hanya sebagian kecil sekali dari hati saya yang bilang kalau saya kalah. Tidak. Saya baik-baik saja. Dunia itu bulat. Sehingga apapun bisa terjadi.
Ini dekat. Sungguh sangat dekat. Saya adalah sang pusat waktu, dan kau ada di titik arah jam 2. Jarak ini tak pernah berbeda. Mungkin pernah lebih jauh dari arah jam 2, tapi tak pernah lebih jauh dari jarak 2 jam. Kau mengerti? Saya yakin tidak.
Jadi, apa yang punya jarak?
Saya, dengan segenap rasa rindu. Mungkin benar adanya. Merindu adalah satu-satunya cara untuk menciptamu dalam maya. Maya yang nyata. Senyata rasa sakit setelahnya.
Always like this?
Dan selalu saja ada momen untuk mengembalikan semua memoar itu. Aku tidak menyesal. Hanya saja, ini menyesakkan.
Senin, 20 Agustus 2012
A.R.G.H
Tuh kan tuh kaaaaaaaaaaaan.
SATU hal konyol, LAGI! *tepokjidat*
"Ya ampun, barbar!"
Haaaaaaaaaaaaaaaa ampuuuuuuuuun, maafin gueeeeeeeee :((((
SATU hal konyol, LAGI! *tepokjidat*
"Ya ampun, barbar!"
Haaaaaaaaaaaaaaaa ampuuuuuuuuun, maafin gueeeeeeeee :((((
Rabu, 08 Agustus 2012
What a zonk-hectic-chaos day!
Zonk. Hectic. Chaos.
What a zonk day. What a hectic day. What a chaos
day!
Oooooooooh God, rasanya saya pengen teriak
sekenceng-kencengnya, meluapkan semua ke-hectic-an hari ini yang sungguh ngga
kira-kira. Huft. Baiklah. Mungkin ini teguran langsung buat saya yang 3 hari
belakangan ini udah mulai males-malesan ngejar amalan yaumiyah Ramadhan,
padahal target-target itu udah kepampang jelas di pintu dapur kontrakan. Ampuni
aku ya Rabb.
Well, should I tell the world how chaos the day
was? It was exceptionally rioting. Wuh.
Sebelomnya saya ga pernah nyangka, hari se-zonk ini
bakalan muncul di tengah-tengah kedamaian hari-hari Ramadhan saya.
Target-target sudah disusun sebaik dan se-unyu mungkin, demi Ramadhan yang
penuh CINTA. Ngga kayak Ramadhan tahun lalu, saat saya ngerasa kering banget
dan demi apapun deh, nyesel senyesel-nyeselnya ngelewatin Ramadhan kali itu
tanpa pencapaian ibadah yang sedikit saja meningkat. Justru malah menurun.
Drastis. Semua itu gara-gara *piiiiiiiiip* *sensored*
I took a deep breath. I
don’t want the day like this anymore.
Hari ini, 03 Agustus 2012.
Dear catatan sepanjang masa...
Hari yang ultra-chaos ini dimulai dengan saya dan
ke-3 teman kontrakan saya yang bangun kesiangan. Padahal semuanya puasa. Yang
pasang alarm 2 orang. Tapi entah kenapa, kita bangun jam 04.42, beberapa detik
sebelum adzan Shubuh berkumandang. Aaaaaaaarrrgh. Saya bangun udah kayak
zombie. Biasanya ada menit-menit saat bangun pagi buat ngumpulin nyawa, tapi
pagi ini ngga. Saya bangun udah kayak orang kesurupan. Dan mendadak pengen
pingsan pas denger lafadz “Allahu akbar” mulai berkumandang dari masjid entah
dimana. Dengan nelangsa, saya nanya sama Nisa: “Masih boleh minum ga?” Nisa
jawab boleh. Seketika saya minum segelas air. Ditenggak dengan tampang ga
karuan, bener-bener kayak zombie. Wooohooo. Sebenernya ga masalah-masalah
banget sih kalo saya ga sahur. Tapi tiba-tiba aja kebayang hari ini tuh bakal
penuh banget sama berbagai aktivitas di kampus. Mulai dari kuliah farkol,
rapat, ngelompokin ini itu, bikin surat-surat, dan semacamnya yang jelas sekali
menambah ruwetnya hidup saya hari ini.
Lalu apa? Saya cuma bisa pasrah. Langsung
tergeletak tak berdaya (lagi) di atas kasur, meratapi betapa ngga-banget-nya
hidup saya pagi itu. Udah mana ngga sholat tarawih gara-gara semalem niatnya
mau tahajud, eh nyatanya malah kesiangan. Boro-boro buat tahajud, sahur aja
cuma makan air putih 2 tenggak. Wuft.
Nyesel. Merasa sangat bersalah. Merasa mengkhianati target sendiri. Merasa
nista.
Itu baru permulaan.
Pukul 07.15 Waktu
Indonesia Bagian Kontrakan.
Saya asyik sendiri di depan laptop, menikmati
membuat surat-surat undangan dengan versi baru. Nisa asyik sendiri (juga) di
depan laptopnya, menikmati membuat nomor-nomor kelompok dengan font yang
gendut-gendut. Foni dan Sani dateng ke kontrakan. Mereka mau ikut nge-scan
tugas. Lalu dimulailah ke-hectic-an kedua hari ini...
Nisa membuka penutup scanner yang nyatu sama
printernya. Seketika kita kaget, sekaligus geli dan jijik ngeliat banyak
banget-banget semut di dalem scanner itu. Ya ampuuuuuuun, udah ga paham lagi
apa yang semut-semut itu cari di dalem kaca scanner. Emangnya scannernya manis
ya? Sepertinya sudah terlalu banyak mutasi di dunia ini. Sampe semut pun suka
ngerubungin scanner.
Sumpah demi apapun itu pemandangan scanner
menjijikan banget. Saya merinding ngeliatnya. Itu semut asli banyak sekaleee.
Kejijikan pemandangan itu ditambah dengan adanya bintik-bintik putih yang
–sepertinya- adalah telur-telur semut itu. Hoek. I gonna yack.
Alhasil, Foni sama Sani ga jadi nge-scan di
kontrakan. Saya sama Nisa minta maaf, mereka berdua juga minta maaf. But, the reason of this rioting day isn’t
both of you. Santai saja. Ini hanya masalah kecil yang jadi bumbu, ga
seberapa.
Saya sama Nisa pun sibuk ngebersihin sebisa kita.
Tapi ga berhasil. Terpaksa printer itu harus masuk rumah sakit, kasih ke
ahlinya sajalah.
I took a deep breath (again).
Pukul 08.00
Saya beres mandi. Nisa masih berkutat dengan
laptopnya, berusaha menyelesaikan amanahnya pagi itu, meski dengan tampang yang
sudah cukup kusut dan ga karuan, mukena belum dilepas, nelangsa gara-gara
internet ga jalan, dan printer yang ga connect
tiba-tiba. Itu artinya dia harus ngeprint tugasnya di luar, ga di
kontrakan.
Penderitaan belum berakhir ternyata.
Data yang mau diprint ga bisa dipindahin sementara
kita ada kelas jam 10, dan Nisa harus rapat dulu jam 9. Entah ada error apa
sama laptop Nisa, yang pasti ga ada satupun data yang bisa dipindahin ke flash
disk. Mungkin ini semua akibat dari kebarbaran dia nge-uninstall banyak program
dari laptopnya. Huft. Inhale-exhale-inhale-exhale.
Untung dengan sigap saya punya ide buat masukin data itu ke email aja,
mumpung ada modem Maira yang tergeletak di atas karpet. And you know what? Nunggu proses attachment data di email pake modem
dengan keadaan super duper hectic itu rasanya...
Tiba-tiba proses
attachment itu gagal. Argh. Gue banting juga tu laptop.
Persentase kesabaran saya pagi itu masih 90%
ternyata. Laptop ga jadi saya banting, saya coba lagi nge-attach. Akhirnya
berhasil. Ya Allah, ampuni hambaMu ini ya Allah.
Baaaiklaaaaaaaah.
Pukul 11.15 Waktu
Indonesia Bagian Gedung PPBS.
Mungkin jam segitulah kekacauan hidup saya hari ini
mencapai puncaknya. Saya nangis. Saya cengeng, saya akui itu. Tapi semua
tangisan itu kebanyakan bukan karena saya sedih, tapi 90% karena kesal. Kesal
karena merasa tidak dianggap, kesal karena mereka yang tidak mengerti atau
memang tidak mau mengerti, kesal karena ucapan mereka yang benar-benar...aaargh
no word to explain it!
Saya ga bisa nahan buat ga nangis. Dasar anak
kecil. Ya, saya tau itu. Tapi saya ga peduli. Daripada saya gila nahan semua
kekesalan ini, mending saya meraung-raung di kelas. Dan benar, saya melakukan
itu. Kesal to the max!
Sekali lagi, ampuni hambaMu ini ya Allah. Ampuni
atas segala keberlebihanku memandang sesuatu.
Pukul 11.45 Waktu
Indonesia Bagian Arboretum.
Mood saya benar-benar sudah hilang untuk rapat
siang itu. Saya memaksakan diri. Berharap rapat yang biasanya menyenangkan itu
bisa mengusir mood jelek saya gara-gara beberapa menit yang lalu. Tapi nyatanya
tidak. Ada tragedi di siang itu yang membuat ke-chaos-an hari saya semakin
sempurna.
Singkat cerita, saya duduk di dekat sebuah lubang
di rerumputan arboretum. Dulu pas acara makan-makan angkatan 2011 saya juga
pernah duduk deket situ dan saya baik-baik saja. Tapi kali ini tidak. Ternyata
lubang itu adalah basecamp-nya
kodok-kodok super menjijikan. Bisa dibayangkan, betapa amat sangat tidak
mungkin saya tidak teriak. AAAAAAAAAAAARRRRRGGGGHH! Mungkin mulai saat ini,
saya fobia pada kodok. Sekian.
Wallahi, saya merinding.
That was a big trouble
day. Full of surprise. May Allah forgive me, for every complaint I said today. Thanks
Allah, for reminding me as soon as possible. So that, will never ever be there the
day I wasted during this holy glory month.
Karena segala keluhan
ini, segala tangis ini, akan selalu berlalu.
*Memorable, but I don’t
wanna repeat it again. Cerita memilukan ini diketik dengan segala sisa-sisa
tenaga yang tersimpan. Hari yang panjang dan melelahkan.
Jumat, 13 Juli 2012
Good days are here again
Good days are here again.
Thanks, Allah. For this one happy moment (again). It always always always be there something to be thankful for :)
"Tuhan tak pernah bermain dadu; termasuk dengan siapa kita bertemu..."
...dan dengan siapa hati ini berpadu #eh
Rabu, 11 Juli 2012
Daydream?
Things change so fast.
Welcome, Annisa Noor Insany :)
Selamat datang di dunia baru, dunia kontrakan.
Selamat datang kebarbaran baru.
Selamat datang suasana baru, atmosfer baru.
Alrite, sekarang kita fair. Dua orang dengan golongan darah O dan dua orang dengan golongan darah B.
O dan B is for Orang Barbar. Hehe :D
Stay happy. Your friends are always surround you :)
Jumat, 06 Juli 2012
And if
Jika inginmu tidak sesuai dengan ingin-Nya, biarkan ingin-Nya menjadi skenario terbaik dalam hidupmu.
Biarkan tangisan mengobati kekecewaanmu, bukan kecewa terhadap-Nya, namun kecewa karena kamu belum mampu berjalan di atas ingin-Nya.
Ukhti Zahra Khaliza via Ukhti Sella Marselyana
Flashback :)
Bismillah.
Pukul 18.30 waktu Indonesia bagian laptop saya :)
Pukul 18.30 waktu Indonesia bagian laptop saya :)
Tidak ada yang begitu istimewa hari ini. Selain 2 kali kuliah farmakologi dan saya ga roaming *bangga*, juga rapat integrasi mabim dan tawaran menjadi pementor. Hoaaah, baiklah. Hal terakhir yang saya sebutkan sebenernya bikin saya shock pagi-pagi buta. Saya baru bangun dan langsung shalat subuh, kemudian melihat hape (seperti biasa), melihat 3 sms masuk dimana salah satu sms itu berhasil 100% bikin saya melek dan ga mau tidur lagi. SMS dari kakak kelas saya, Teh Wiwid. Isinya simpel, hanya sebatas ucapan selamat bahwa saya diamanahi sebagai pementor untuk mabim 2012. Tapi saya sudah bisa membayangkan, betapa amanah ini akan menjadi bumerang jika hati saya terlampau buta, betapa amanah ini berat..mengingat posisi saya yang begitu 'kecil' dan pengetahuan agama saya yang masih dangkal. Tapi ternyata, memutuskan menjadi pementor bukanlah hal yang harus digalaukan. Karena tiba-tiba bisikan hati nurani saya terdengar begitu jelas, there are two writers on your shoulder, so which one are you keeping busy for? Saya pun memutuskan untuk mencoba jalan ini. Bismillah. Allah akan selalu membimbing saya dan tidak akan pernah meninggalkan saya.
Yaa...hari ini bukan milik saya saja. Tapi juga milik mereka yang sedang tegang-tegangnya menanti pengumuman tes paling bergengsi di Indonesia, SNMPTN.
Saya pun ikutan tegang. Entah kenapa. Rasanya seperti terseret lagi ke masa sekitar 1 tahun yang lalu. Ba'da maghrib saya baca Quran dulu sambil nangis. Saya cengeng banget memang. Tapi yaa mau gimana lagi, itu galau udah nyampe stadium akut dan tinggal Allah-lah yang jadi sandaran saya. Sandaran yang kuat, yang -sekali lagi- tak akan pernah meninggalkan saya.
Biarkan saya mengenang masa-masa itu lagi. Saat saya ternyata harus diam tak tahu mau berkata apa, sampai akhirnya tangis saya pecah berkeping-keping (mungkin kepingannya sampai 1 nano). Saat saya cuma bisa meluk ibu saya dan ga mau saya lepas saya tangisan saya berakhir. Saat saya udah ga peduli lagi adik-adik saya bingung dan heran, bertanya-tanya kenapa kakaknya nangis sekejer ini. Saat saya -akhirnya- putus asa, menerima kenyataan, setelah berkali-kali log in dengan nomor dan password yang sama. Saat saya -akhirnya- harus bangun dari mimpi, melihat ke depan lagi, berjuang sekuat tenaga lagi meski galau tak mau pergi setiap pagi.
Tapi -sekali lagi saya katakan-, Allah masih tetap bersama saya.
Ia masih membimbing saya hingga saat ini, dan akan tetap terus membimbing saya.
Ia memperkenalkan saya dengan alam Jatinangor yang tak jauh beda dengan suasana di kaki Gunung Karang. Membuat saya terkesan dengan kenyataan bahwa seakan Cahaya Madani adalah miniatur dari Universitas Padjadjaran. Kemiripan trek jalanannya, masih ada ilalang, di bawah kaki gunung, dan kalo malam bintangnya bertebaran.
Ia mempertemukan saya dengan teman-teman yang luar biasa. Teman-teman satu kontrakan yang mengajarkan saya memahami Islam lebih sempurna, memahami hidup lebih sederhana, dan memahami hati secara lebih bijaksana. Teman-teman satu kelas yang tak kalah luar biasa, yang tak kalah cuek seperti halnya Algebra Titania. Teman-teman satu angkatan yang juga luar biasa. Pharmaddiction buktinya :)
Hey Farmasi Unpad 2011, proud of being a part of you. Will unite us no matter what :D
Hey Farmasi Unpad 2011, proud of being a part of you. Will unite us no matter what :D
talk less, do more
Oh, jadi gini rasanya ikut SP ke atas~
Awalnya galau mau pilih matkul apa. Dosen wali saya sih setuju-setuju aja mau pilih matkul apapun. Beliau sendiri yang bilang kalo semuanya bagus. So, terpilihlah biomol featuring farkol.
Sampai saat ini, sudah hari ke-5. Dan empat hari sebelumnya, banyak sekali 'motivasi' yang bikin saya dan temen-temen saya greget untuk menunjukkan sebuah pembuktian. Alhasil, belajar setekun-tekunnya adalah solusinya.
Saya tau ini tidak mudah. Dibilang nekat, malah. Tapi yaaa...ini sudah jadi pilihan. Setiap pilihan ada konsekuensinya. Kami siap.
Baaaiklaaaah. Se-ma-ngat! (งˆ▽ˆ)ง
This notes is dedicated to me myself, Nur Chumaira, Terry Terrawati, Annisa Noor Insany, Afrizki Dinurfitri, Agis Maulana, and Hendry.
"The happiness of your life depends on the quality of your thoughts."
Stay happy, keep smile mantemaaaans~
Saya tau ini tidak mudah. Dibilang nekat, malah. Tapi yaaa...ini sudah jadi pilihan. Setiap pilihan ada konsekuensinya. Kami siap.
Baaaiklaaaah. Se-ma-ngat! (งˆ▽ˆ)ง
This notes is dedicated to me myself, Nur Chumaira, Terry Terrawati, Annisa Noor Insany, Afrizki Dinurfitri, Agis Maulana, and Hendry.
"The happiness of your life depends on the quality of your thoughts."
Stay happy, keep smile mantemaaaans~
Sabtu, 30 Juni 2012
Jakarta
“Satu-satunya cara menikmati Jakarta adalah dengan meninggalkannya untuk sejenak.”
-Trinzi Mulamawitri
Perjalanan pulang dari Bandung menuju Banten ataupun sebaliknya, selalu memberi kesan tertentu :)
Minggu, 24 Juni 2012
You can call me rain
You can call me rain for all I seem to do is always fall for you.
Semua serba salah. Sebal. Kesal. Kalo gini terus, kenapa Anda memilih saya?
Semua serba salah. Sebal. Kesal. Kalo gini terus, kenapa Anda memilih saya?
Jumat, 22 Juni 2012
Dan lagi-lagi seperti ini (part #2)
Bismillah.
Ok. Let's take a deep breath and say Alhamdulillah. Minggu pertama UAS selesai. Sampai segitu saja campur tangan saya dalam keberhasilan UAS saya. Belajar, berdoa, datang, berdoa, mengerjakan, pulang, lalu berdoa lagi. Sisanya, biar Allah yang menentukan.
Ini masih pagi. Dan pagi itu selalu syahdu dan menentramkan. Kecuali pagi di saat-saat tertentu. Pagi pas mau berangkat study tour, pagi pas SNMPTN, pagi pas SIMAK, pagi di hari-hari pasca SNMPTN dan pra pengumuman SMUP Unpad, pagi pas mau farewell, pagi pas mau olimpiade, pagi pas mau lomba UUD, pagi pas ada acara dan saya panitianya, pagi di hari Selasa pas mau praktikum farset, pagi di hari-hari UAS, dan terutama pagi saat kau bangun tidur jam 6 dan mendapati diri belum shalat Shubuh. Huuft. Kasus terakhir yang paling membuat saya merasa bahwa iman saya masih sangat lemah. Alarm di hp saya cuma tanda. Tapi justru yang membangunkan saya subuh-subuh itu adalah kekuatan iman saya. Huuft.
Dan lagi-lagi seperti ini.
Yang saya cemburui bukan apa yang mereka usahakan, tapi justru nilai yang entah berapa persen kehalalannya.
Dan lagi-lagi seperti ini.
Yang saya cemburui justru bukan mereka yang berusaha menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain, tapi yang saya cemburui malah orang yang jauh disana yang tak patut saya pikirkan.
Dan lagi-lagi seperti ini.
Banyak hal penting yang terabaikan demi hal-hal terabaikan yang justru dipentingkan.
Kenapa harus selalu seperti ini? Dari 18 tahun yang lalu :(
Memang inilah sebenar-benar makna sebuah ujian. Pengingat. Penegur.
Karena saat ujian, barulah kita kembali, barulah kita ingat lagi, barulah kita mau berjuang lagi. Kalau dipikir-pikir, betapa munafiknya kita, eh saya doang mungkin ya.
Baiklah. Ingatkan aku selalu pada-Mu, wahai Allah.
Alarm clocks are only a means, what really wakes you up for Fajr is your Imaan.
Dan lagi-lagi seperti ini.
Ini bukan tentang apa yang mereka minta dari saya, tapi ini tentang apa yang tidak bisa saya berikan pada mereka.
Dan lagi-lagi seperti ini.
Hanya maaf yang bisa saya ucapkan saat apa yang mereka harapkan tidak bisa menjadi kenyataan.
Dan lagi-lagi seperti ini.
Penyesalan datang, berjejalan di pikiran, menjanji diri pada janji-janji palsu yang bahkan selama 18 tahun belum saya penuhi.Dan lagi-lagi seperti ini.
Yang saya cemburui bukan apa yang mereka usahakan, tapi justru nilai yang entah berapa persen kehalalannya.
Dan lagi-lagi seperti ini.
Yang saya cemburui justru bukan mereka yang berusaha menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain, tapi yang saya cemburui malah orang yang jauh disana yang tak patut saya pikirkan.
Dan lagi-lagi seperti ini.
Banyak hal penting yang terabaikan demi hal-hal terabaikan yang justru dipentingkan.
Kenapa harus selalu seperti ini? Dari 18 tahun yang lalu :(
Memang inilah sebenar-benar makna sebuah ujian. Pengingat. Penegur.
Karena saat ujian, barulah kita kembali, barulah kita ingat lagi, barulah kita mau berjuang lagi. Kalau dipikir-pikir, betapa munafiknya kita, eh saya doang mungkin ya.
Baiklah. Ingatkan aku selalu pada-Mu, wahai Allah.
Tuhan,
Aku cemburu
Aku cemburu pada perasaanku sendiri
Aku cemburu pada perasaan mereka pada-Mu
Tuhan,
Aku cemburu
Aku cemburu pada mereka yang sebentar-sebentar teringat pada-Mu
Aku cemburu pada mereka yang sebentar-sebentar menyebut nama-Mu
Tuhan,
Aku cemburu
Aku cemburu pada mereka yang selalu mendekat kepada-Mu
Aku cemburu pada mereka yang selalu menjaga cinta kepada-Mu
Tuhan,
Aku cemburu
Aku cemburu pada mereka yang santun bicaranya
Aku cemburu pada mereka yang lembut tingkah lakunya
Aku cemburu pada mereka yang diam-diam mendoakan saudaranya
Aku cemburu saat mereka bilang semua itu karena-Mu
Tuhan,(dari tumblr) :D
Aku cemburu
Aku cemburu karena aku mencintai-Mu
Minggu, 10 Juni 2012
Dan lagi-lagi seperti ini
Memang kebiasaan yang belum bisa diubah.
Sekali lagi, HAPPY BIRTHDAY ya apaaaap :) Semoga dipanjangkan umurnya, diluaskan rezekinya, dan dijadikan barokah sisa usianya. Aamiin. Doakan aku selalu, pap. Semoga aku bisa jadi "tiket" buat apap dan amah untuk ke Baitullah, juga untuk ke surga. Wish you all the best my beloved apap :)
Saya nelpon babeh. Yang terucap hanya "Selamat Ulang Tahun Apap". Tanpa tralala-trilili lainnya. Kebiasaan. Saya ga bisa ngomong langsung. Alhasil, saya kirim segala ucapan sayang dan cinta saya buat babeh saya via SMS. Dan saya nangis. Cengeng memang. Oh Allah, apa yang sudah saya lakukan untuk mereka? #selftalking.
Sometimes, I forget that when I grow up, they'll grow old too.
Semoga Allah mencukupkan waktuku untuk membahagiakan mereka. Aamiin. :D
Sabtu, 09 Juni 2012
This is such an anomaly feelin'
Sudah sepantasnya aku malu tentang rasa cinta yang tak halal dirasa, tentang angan yang tak pantas dibayangkan. Karena semua itu adalah sebuah pengkhianatan padaNya dan juga seseorang yang kini sedang menjaga hatinya untukku.
-hati nurani-
Kamis, 24 Mei 2012
reaction #5
"Saksikanlah dan pahamilah sekelilingmu. Ingatlah bahwa tak ada yang mampu mengobati rasa sakit hatimu kecuali keikhlasan. Jangan dilihat seberapa sakit hatimu, tapi lihat seberapa sanggup kau memaafkan keadaan..."
Menjalani hidup sebagai siswi kelas dua belas adalah hal yang bisa berarti dua makna bagiku. Sama halnya dengan kebanyakan teman-temanku. Menjadi yang paling senior itu rasanya cukup menyenangkan. Tapi tak bisa dipungkiri, beban pun ada dan terasa di pundak ini. Beban untuk menyelesaikan sekolah, beban tanggung jawab kepada orangtua, dan beban tak terlihat lainnya. Be strong. God is The Best Director.
Berbicara tentang “menjadi kuat”, aku pun teringat satu cerita di masa lampau. Tentang salah satu episode tak diinginkan dalam sebuah skenario. Tentang aku yang dibutakan dengan keinginan dunia, tentang dia yang emosi entah mengapa, dan tentang mereka yang terbang lebih dahulu.
Menjalani sekolah tidak sesederhana seperti yang dulu aku pikirkan. Yah, aku akui, kesederhanaan itu efek dari menonton film-film ringan di televisi. Disana, mereka hanya menceritakan bagian menyenangkannya saja; persahabatan yang menjadi percintaan, pertengkaran yang menjadi percintaan, kesalahpahaman yang menjadi percintaan, semuanya berujung pada percintaan. Tapi pada kenyataannya, kehidupan tak sesimpel itu, pemirsa. Banyak hal yang harus aku lewati sebelum pada akhirnya aku bisa menikmati semuanya sebagai sebuah kenangan. No matter how bored you feel in the school is, you’ll always miss it when you leave. Damn, it’s true.
Hari itu akhirnya datang. Hari yang seharusnya besar untukku. Tapi takdir berbicara lain ternyata. Takdir yang membuat aku tidak mungkin menahan kelenjar lakrimalis-ku untuk mengeluarkan air mata yang sudah tidak terbendung. Takdir yang membuat aku merasa senyumku saat itu adalah senyum dengan beban seberat 1000 ton. Takdir yang membuat aku merasa ingin pingsan dan terbangun 7 tahun kemudian. Jika kau bilang ini berlebihan, silakan rasakan sendiri sensasinya.
“Udah, Azka...jangan nangis terus doong,” Indy berusaha menenangkanku yang masih terus sesenggukan. Aku tahu dia ingin mencoba mengerti perasaanku, tapi sayangnya keadaan kita berbeda. Aku berusaha tersenyum, meski rasanya senyum itu hanya bisa membuat bibirku robek. Ini menyakitkan, sungguh.
“Harusnya ngga kayak gini kan?!?!” tiba-tiba saja aku mendengar suara Ihsan mengomel di sebelahku. “Harusnya hasilnya bukan kayak gini kan?!?” Ihsan menoleh padaku yang dalam sekejap langsung menghentikan tangisanku.
Aku menatap mata Ihsan yang sungguh penuh amarah dan kebencian. “Gue yakin, Ka. Hasilnya ngga seharusnya begini! Harusnya semuanya…” omel Ihsan di depan wajah Azka.
“Ya udah, San! Walopun lo marah-marah kayak gitu, lo mau ngapain? Lo bisa apa buat ngubah semua hasilnya hari ini?!?” Indy ikut-ikutan naik darah dan berteriak di hadapan Ihsan.
Ihsan menghentakkan kakinya ke tanah, membuktikan kekesalannya yang sudah memuncak.
Aku hanya bertanya-tanya di sela tangisanku, “Dimana yang namanya keadilan?”. Akupun menghapus air mataku dan terus berusaha untuk tersenyum pada mereka yang beruntung.
“Gue ngerti, pasti beban lo lebih berat daripada beban gue. Tapi, jangan nangis lagi ya Rin. Buktiin kalo lo kuat.” Ihsan berbicara pelan di sampingku.
Setan menguasai hatiku saat itu. Aku hanya membalas nasihat dari Ihsan dengan ucapan,
“Keadaan kita berbeda, San. Lo menang dan gue kalah dengan cara yang ngga adil. Awalnya kita memang sama-sama berjuang, tapi semuanya berbeda saat lo dan yang lainnya harus maju duluan, meninggalkan gue, dan semuanya hanya karena sebuah ketidakadilan.” Aku menghela napas sejenak dan aku katakan lagi “Keadaan kita berbeda, San.” Satu tetes air mata pun jatuh lagi. Indy langsung menghapusnya, aku tersenyum nanar.
Ihsan menoleh ke arahku sebentar.
Lalu perkataannya kali ini berhasil mengusir jutaan bisikan setan di hatiku.
Selasa, 22 Mei 2012
reaction #4
"Bersyukurlah, karena hidup tak akan pernah sempurna"
Matahari yang jingga kemerahan mulai
meredupkan sinarnya di horizon barat sana. Berganti tugas dengan bulan untuk
menyinari bumi ini. Tak lebih dari satu jam, cahaya matahari benar-benar sudah
tergantikan dengan cahaya bulan yang tak kalah indah, meski cahaya bulan itu
semu. Pemberian dari sang matahari. Memang selalu ada yang istimewa dari
ciptaanMu, Tuhan.
Adzan maghrib mulai berkumandang. Ah, terasa
damainya. Adzan selalu mengingatkanku pada nasihat ringan sahabatku, Nayasa.
Dia memang unik. Dia bisa menjadi sangat bijak atau bahkan sangat konyol. Dia pernah
berkata padaku,
“Eh, udah adzan tuh. Allah manggil kita buat
shalat, belum manggil kita buat pulang. Yuk, shalat dulu,” kata Nayasa sambil
bangkit dari duduknya saat dia menginap di rumahku beberapa bulan yang lalu.
Awalnya aku mengernyit tidak mengerti, belum
manggil kita buat pulang? Tapi hanya dalam hitungan detik, aku pun
mengerti. Aku hanya tersenyum. Ah, Nayasa. Nasihat ringan yang luar biasa.
Satu dari beberapa hal yang patut aku syukuri
adalah bahwa aku dilahirkan dari keluarga yang berkecukupan. Aku tidak perlu
takut memikirkan makan apa aku hari ini atau memikirkan apakah aku bisa
melanjutkan sekolah sampai ke perguruan tinggi. Allah memberi kami rezeki yang
cukup. Ini nikmat yang luar biasa. Aku memang bukan manusia sempurna. Tidak ada
manusia sempurna, bukan? Aku hanya sedang mencoba mensyukuri apa yang ada,
bukan menyesali apa yang terjadi. Aku selalu berdoa agar setiap kebahagiaan
yang aku dapatkan hari ini bukanlah kesedihan yang akan aku dapatkan di masa
depan. Hidup ini terus berputar, sehingga apapun bisa terjadi. Ya, aku adalah
aku. Satu diantara ribuan, jutaan, puluh jutaan, milyaran orang yang masih
diberi kesempatan untuk melihat dengan dua mata yang bisa melihat betapa
indahnya dunia ini, dua telinga yang masih bisa mendengar syahdunya gemericik
air wudhu, dua kaki yang masih bisa berfungsi dengan baik supaya aku bisa
menikmati hidupku, satu hidung yang masih bisa menghirup segarnya udara pagi,
satu mulut yang masih bisa berbicara untuk mengejar dan memprotes arti sebuah
keadilan, dan juga dua tangan yang masih bisa menuliskan semua cerita hidup
ini.
Jadi, apa yang harus aku keluhkan? Jawabnya
adalah “tidak ada”.
Jumat, 18 Mei 2012
reaction #3
"And I never find any reason from not being proud of you."
“Azka, maaf banget ya tadi. Aduh, mata lo gapapa kan? Maaf...” kata Ihsan. Dari matanya bisa dilihat ia memang benar-benar merasa bersalah.
“Lo sih serius banget ngisi ulangannya. Jadinya gini kaan...” ujar Nayasa memojokkan Ihsan. Biasanya Ihsan tidak mau kalah bicara, tapi kali ini sepertinya tidak. Ia hanya sebentar melihat Nayasa, lalu beralih lagi padaku yang masih mengusap-usap mata.
“Aduuh beneran deh, maafin gue ya Ka...” Ihsan memelas, setengah berlutut di samping mejaku. Aku canggung dengan keadaan seperti ini. Jadi, aku memaksakan diri untuk bersikap biasa saja seolah mataku tidak sakit lagi.
“Iya. Ya udah, iya gue ngga papa kok. Iya iya gue maafin,” kataku cepat-cepat. Berharap Ihsan segera berlalu dan aku tidak usah sok kuat seperti ini.
Ihsan berdiri. Ya. Sesuai harapanku. Ia meminta maaf sekali lagi, aku mengangguk, dan akhirnya ia pun menjauh dariku lalu keluar kelas.
Setelah Ihsan pergi menjauh, Nayasa bertanya lagi.
“Eh, beneran tuh mata lo gapapa, Ka? Kalo kenapa-napa minta Ihsan tanggung jawab aja...” kata Nayasa sambil mengernyitkan dahinya, tapi pandangan matanya ke arah Ihsan yang sedang melewati pintu kelas.
“Haaduuuh, kalo gue bilang mata gue gapapa ya sebenernya sakit juga, Nay. Tapi ya udahlah, gue ga enak sama dia.”
“Kok jadi lo yang ga enak sama dia? Harusnya dia dong yang ga enak sama lo.”
“Ah, udah deh gapapa. Tinggal satu pelajaran. Abis itu juga gue bisa langsung pulang.” Aku mengakhiri dialog yang mulai tidak mengenakkan itu. Aku pun berdiri, berniat pergi ke toilet.
“Eh, eh...mau kemana, Ka?” tanya Nayasa.
“Toilet,” jawabku singkat.
Aku langsung berlalu keluar kelas. Ya, seperti hari-hari sebelumnya, ada hal-hal yang selalu membuat aku heran. Sembilan puluh persen kejadian dimana aku keluar atau masuk kelas, mataku langsung tertuju pada satu orang. Ya, siapa lagi. Orang yang tadi sudah melukai mata kiriku.
Kali ini Ihsan dan aku bertemu pandang. Apa? Tidak ada apa-apa. Tidak ada sesuatu yang istimewa, entah getar yang aneh ataupun suhu yang tiba-tiba mendingin. Semua biasa saja. Tapi sekarang ini, Ihsan sudah mendekat ke arahku.
“Azka!” panggil Ihsan. Itu panggilan yang nihil sebenarnya. Tanpa memanggilku pun aku sudah tahu dia mau bicara padaku.
“Apa?” tanyaku datar.
“Oi Ihsan!” Tiba-tiba ada seseorang di belakangku yang memanggil Ihsan. Aku menoleh. Ah, ternyata Aldi, teman sekelas kami “San, lo dipanggil sama Bu Rosi tuh,” kata Aldi.
“Dipanggil?” Ihsan bingung. Bu Rosi itu wali kelasku. Wali kelas Ihsan juga tentunya. Untuk apa dia dipanggil?, tanyaku dalam hati.
Kulihat Aldi hanya mengangkat bahu.
Aku bingung dengan keadaan seperti ini. Jadi, kuputuskan untuk mengabaikan panggilan Ihsan dan langsung pergi ke toilet. Sepertinya Ihsan pun sama bingungnya dengan aku, dari raut wajahnya ia seolah masih mau meneruskan pembicaraan denganku, tapi panggilan Bu Rosi cukup membuatnya mengurungkan niat untuk bicara padaku.
Eh, ternyata dugaanku salah. Ihsan sekarang malah di sebelahku. Aku lupa, toilet dan ruang guru kan searah.
“Dipanggil Bu Rosi ya?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku. Ah, ngaco banget sih lo, Ka. Nanya yang jawabannya udah jelas, pikirku kacau.
“Iya nih, ga tau kenapa,” jawab Ihsan ringan, lalu ia menoleh ka arahku. Aku pun menoleh.
“Palingan ada lomba,” kataku sok tau. Tapi memang itu dugaan yang paling mungkin. Orang seperti Ihsan amat sangat tidak bermasalah. Kecuali padaku.
“Mata lo merah, Ka.” Ihsan melihat lekat-lekat pada mata kiriku. Ah, lagi-lagi kondisi yang membuatku bingung harus bersikap seperti apa. Aku segera menutup mata kiriku dengan tanganku, lalu mengalihkan pandanganku dari mata Ihsan.
“Hah? Beneran merah, San?”
“Iya. Haduh, gara-gara gue tuh. Gimana dong?” Ihsan bingung sendiri.
“Ah, udah. Ga usah dipikirin. Gapapa kok.” Aku langsung berjalan cepat, meninggalkan Ihsan di belakangku. Ada yang aneh. Bahkan walaupun barusan Ihsan bilang mataku merah, aku seperti tak merasakan sakit itu lagi di mata kiriku. Sepertinya suhu udara saat itu jadi makin dingin. Aku pun bergidik. Ini aneh, sungguh aneh. Matahari sedang menyengat siang itu, tapi kenapa rasanya dingin?
“Lo sih serius banget ngisi ulangannya. Jadinya gini kaan...” ujar Nayasa memojokkan Ihsan. Biasanya Ihsan tidak mau kalah bicara, tapi kali ini sepertinya tidak. Ia hanya sebentar melihat Nayasa, lalu beralih lagi padaku yang masih mengusap-usap mata.
“Aduuh beneran deh, maafin gue ya Ka...” Ihsan memelas, setengah berlutut di samping mejaku. Aku canggung dengan keadaan seperti ini. Jadi, aku memaksakan diri untuk bersikap biasa saja seolah mataku tidak sakit lagi.
“Iya. Ya udah, iya gue ngga papa kok. Iya iya gue maafin,” kataku cepat-cepat. Berharap Ihsan segera berlalu dan aku tidak usah sok kuat seperti ini.
Ihsan berdiri. Ya. Sesuai harapanku. Ia meminta maaf sekali lagi, aku mengangguk, dan akhirnya ia pun menjauh dariku lalu keluar kelas.
Setelah Ihsan pergi menjauh, Nayasa bertanya lagi.
“Eh, beneran tuh mata lo gapapa, Ka? Kalo kenapa-napa minta Ihsan tanggung jawab aja...” kata Nayasa sambil mengernyitkan dahinya, tapi pandangan matanya ke arah Ihsan yang sedang melewati pintu kelas.
“Haaduuuh, kalo gue bilang mata gue gapapa ya sebenernya sakit juga, Nay. Tapi ya udahlah, gue ga enak sama dia.”
“Kok jadi lo yang ga enak sama dia? Harusnya dia dong yang ga enak sama lo.”
“Ah, udah deh gapapa. Tinggal satu pelajaran. Abis itu juga gue bisa langsung pulang.” Aku mengakhiri dialog yang mulai tidak mengenakkan itu. Aku pun berdiri, berniat pergi ke toilet.
“Eh, eh...mau kemana, Ka?” tanya Nayasa.
“Toilet,” jawabku singkat.
Aku langsung berlalu keluar kelas. Ya, seperti hari-hari sebelumnya, ada hal-hal yang selalu membuat aku heran. Sembilan puluh persen kejadian dimana aku keluar atau masuk kelas, mataku langsung tertuju pada satu orang. Ya, siapa lagi. Orang yang tadi sudah melukai mata kiriku.
Kali ini Ihsan dan aku bertemu pandang. Apa? Tidak ada apa-apa. Tidak ada sesuatu yang istimewa, entah getar yang aneh ataupun suhu yang tiba-tiba mendingin. Semua biasa saja. Tapi sekarang ini, Ihsan sudah mendekat ke arahku.
“Azka!” panggil Ihsan. Itu panggilan yang nihil sebenarnya. Tanpa memanggilku pun aku sudah tahu dia mau bicara padaku.
“Apa?” tanyaku datar.
“Oi Ihsan!” Tiba-tiba ada seseorang di belakangku yang memanggil Ihsan. Aku menoleh. Ah, ternyata Aldi, teman sekelas kami “San, lo dipanggil sama Bu Rosi tuh,” kata Aldi.
“Dipanggil?” Ihsan bingung. Bu Rosi itu wali kelasku. Wali kelas Ihsan juga tentunya. Untuk apa dia dipanggil?, tanyaku dalam hati.
Kulihat Aldi hanya mengangkat bahu.
Aku bingung dengan keadaan seperti ini. Jadi, kuputuskan untuk mengabaikan panggilan Ihsan dan langsung pergi ke toilet. Sepertinya Ihsan pun sama bingungnya dengan aku, dari raut wajahnya ia seolah masih mau meneruskan pembicaraan denganku, tapi panggilan Bu Rosi cukup membuatnya mengurungkan niat untuk bicara padaku.
Eh, ternyata dugaanku salah. Ihsan sekarang malah di sebelahku. Aku lupa, toilet dan ruang guru kan searah.
“Dipanggil Bu Rosi ya?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku. Ah, ngaco banget sih lo, Ka. Nanya yang jawabannya udah jelas, pikirku kacau.
“Iya nih, ga tau kenapa,” jawab Ihsan ringan, lalu ia menoleh ka arahku. Aku pun menoleh.
“Palingan ada lomba,” kataku sok tau. Tapi memang itu dugaan yang paling mungkin. Orang seperti Ihsan amat sangat tidak bermasalah. Kecuali padaku.
“Mata lo merah, Ka.” Ihsan melihat lekat-lekat pada mata kiriku. Ah, lagi-lagi kondisi yang membuatku bingung harus bersikap seperti apa. Aku segera menutup mata kiriku dengan tanganku, lalu mengalihkan pandanganku dari mata Ihsan.
“Hah? Beneran merah, San?”
“Iya. Haduh, gara-gara gue tuh. Gimana dong?” Ihsan bingung sendiri.
“Ah, udah. Ga usah dipikirin. Gapapa kok.” Aku langsung berjalan cepat, meninggalkan Ihsan di belakangku. Ada yang aneh. Bahkan walaupun barusan Ihsan bilang mataku merah, aku seperti tak merasakan sakit itu lagi di mata kiriku. Sepertinya suhu udara saat itu jadi makin dingin. Aku pun bergidik. Ini aneh, sungguh aneh. Matahari sedang menyengat siang itu, tapi kenapa rasanya dingin?
Rabu, 16 Mei 2012
reaction #2
I’m
different. Don’t you know how much I force myself to ressist this feeling?
Dua
April, 8 tahun yang lalu.
“Azka, Azka, gue pinjem tip-x dong!” Suara
Ihsan di belakangku cukup membuat konsentrasiku buyar untuk menghitung
angka-angka yang berserakan di atas kertas ulangan matematikaku. Aku pun
menoleh, menampakkan wajah apa-lo-ganggu-gue-aja
pada Ihsan.
“Pinjem tip-x cepetan...” pinta Ihsan lagi
sambil mengulurkan tangannya.
Aku hanya menghela napas sebentar, memaklumi
gangguan Ihsan, memberikan tip-x yang dimintanya, lalu kembali lagi
mengumpulkan konsentrasi ulangan matematika hari itu.
Gangguan itu tidak berlangsung satu kali
ternyata. Kali ini temanku yang duduk di depanku, Arul, berbisik juga, meminjam
tip-x juga, dan tentu saja membuyarkan konsentrasiku juga.
“Ada di Ihsan tuh,” kataku singkat, tetap
menatap kertas ulangan. Arul kemudian berbisik meminta tip-x itu pada Ihsan. Tapi
memang dasar orang yang bernama Ihsan itu sungguh terlalu pintar, dia tidak
menggubris bisikan Arul, seolah dia tidak mendengar atau memang benar-benar
tidak mendengar saking seriusnya dengan soal ulangan di depannya.
“Azka, tolong ambilin dong...” pinta Arul,
menunjuk-nunjuk pada tip-x yang tergeletak di atas meja Ihsan.
Oh God,
ini kenapa sih orang-orang ngeganggu gue mulu? Hadooh...makanya, modal dikit
buat beli tip-x kenapa siiih.
Aku pun menyerah pada tampang memelas Arul.
Aku menoleh ke belakang, berniat mengambil tip-x, tapi ternyata...
BUUUKK!!!
“Aaaaww!!!” aku mengerang, tetapi tetap
berusaha mengeluarkan suara sesedikit mungkin. Aku menoleh bersamaan dengan
tangan Ihsan yang mengulur memberikan tip-x padaku. Alhasil, mataku terantuk
tip-x yang dipegang Ihsan. Oh Allah,
ini menyakitkan, sungguh.
Dengan adanya kejadian itu, akhirnya Ihsan
mengalihkan pandangannya dari kertas ulangan matematika ke arahku yang sedang
menahan sakit sekaligus erangan supaya tidak mengganggu yang lain yang sedang serius
ulangan. Ihsan terkejut lalu menarik uluran tangannya lagi. Arul hanya bisa
melongo, dari wajahnya ia terlihat cukup merasa bersalah karena ia memaksaku
mengambilkan tip-x untuknya. Nayasa, teman sebangkuku hanya bisa mengernyit
seperti sama-sama merasakan sakitnya mata kiriku.
“Eeh, sorry sorry, Ka. Maaf. Ngga sengaja...” ucap
Ihsan, menampakkan wajah yang sama bersalahnya dengan Arul. “Aduh, mata lo ga
papa kan?” tanya Ihsan.
Aku tidak menjawab. Boro-boro untuk menjawab,
aku sibuk menggigit bibirku supaya tidak mengeluarkan erangan keras. Aku hanya
membenarkan posisi dudukku sambil terus mengusap-usap mata kiriku. Nayasa
mengusap bahuku, menanyakan hal yang sama dengan apa yang ditanyakan Ihsan, aku
pun hanya mengangguk pelan.
“Nay, maaf ini tip-x nya tolong kasihin ke
Arul,” kata Ihsan sambil memberikan tip-x ku pada Nayasa. Nayasa pun
mengambilnya dan memberikan tip-x itu pada Arul.
Konsentrasiku pada ulangan matematika hari itu
benar-benar sudah buyar. Aku masih menahan sakit di mata kiriku sambil berusaha
membuka mataku pelan-pelan. Aku sudah cukup parno
jika saja ada sesuatu yang buruk yang terjadi pada mata kiriku. Tapi alhamdulillah, itu hanya paranoidku
saja. Walaupun sedikit buram, aku yakin itu hanya karena air mata, bukan karena
apa-apa. Yeah, never mind, Ihsan. I’m
alright.
Aku kembali pada kertas ulanganku. Hmm...ya, I’m alright. But, not for my exam!
Aku hanya bisa menggeram, berharap bisa membalas perlakuan Ihsan barusan.
Tapi, ah, tidak penting. Begitu saja masa dendam? Konyol.
Kurang dari 15 menit ulangan matematika itu
pun berakhir. Aku pasrah. Entah apa hasilnya ulanganku yang barusan itu. Mata
kiriku masih cenat-cenut. Masih
berasa sakitnya. Arul minta maaf padaku, tapi kubilang itu bukan salah dia.
Memang iya, bukan salah dia. Memang dasar si Ihsan yang terlalu serius pada
ulangannya sampai-sampai tak mau merelakan beberapa detik saja waktu ulangannya
untuk memberikan tip-x itu secara baik-baik pada Arul. Memang dasar gila
prestasi!
“Beneran gapapa kan mata lo, Ka?” tanya Nayasa
khawatir.
Aku mengusap lagi mata kiriku.
“Masih berasa sakitnya sih...” keluhku.
Tiba-tiba Ihsan menghampiriku, ia baru saja
mengumpulkan kertas ulangannya yang sangat penuh dengan isian. Memang maniak pelajaran!, pikirku.
Langganan:
Postingan (Atom)