"Saksikanlah dan pahamilah sekelilingmu. Ingatlah bahwa tak ada yang mampu mengobati rasa sakit hatimu kecuali keikhlasan. Jangan dilihat seberapa sakit hatimu, tapi lihat seberapa sanggup kau memaafkan keadaan..."
Menjalani hidup sebagai siswi kelas dua belas adalah hal yang bisa berarti dua makna bagiku. Sama halnya dengan kebanyakan teman-temanku. Menjadi yang paling senior itu rasanya cukup menyenangkan. Tapi tak bisa dipungkiri, beban pun ada dan terasa di pundak ini. Beban untuk menyelesaikan sekolah, beban tanggung jawab kepada orangtua, dan beban tak terlihat lainnya. Be strong. God is The Best Director.
Berbicara tentang “menjadi kuat”, aku pun teringat satu cerita di masa lampau. Tentang salah satu episode tak diinginkan dalam sebuah skenario. Tentang aku yang dibutakan dengan keinginan dunia, tentang dia yang emosi entah mengapa, dan tentang mereka yang terbang lebih dahulu.
Menjalani sekolah tidak sesederhana seperti yang dulu aku pikirkan. Yah, aku akui, kesederhanaan itu efek dari menonton film-film ringan di televisi. Disana, mereka hanya menceritakan bagian menyenangkannya saja; persahabatan yang menjadi percintaan, pertengkaran yang menjadi percintaan, kesalahpahaman yang menjadi percintaan, semuanya berujung pada percintaan. Tapi pada kenyataannya, kehidupan tak sesimpel itu, pemirsa. Banyak hal yang harus aku lewati sebelum pada akhirnya aku bisa menikmati semuanya sebagai sebuah kenangan. No matter how bored you feel in the school is, you’ll always miss it when you leave. Damn, it’s true.
Hari itu akhirnya datang. Hari yang seharusnya besar untukku. Tapi takdir berbicara lain ternyata. Takdir yang membuat aku tidak mungkin menahan kelenjar lakrimalis-ku untuk mengeluarkan air mata yang sudah tidak terbendung. Takdir yang membuat aku merasa senyumku saat itu adalah senyum dengan beban seberat 1000 ton. Takdir yang membuat aku merasa ingin pingsan dan terbangun 7 tahun kemudian. Jika kau bilang ini berlebihan, silakan rasakan sendiri sensasinya.
“Udah, Azka...jangan nangis terus doong,” Indy berusaha menenangkanku yang masih terus sesenggukan. Aku tahu dia ingin mencoba mengerti perasaanku, tapi sayangnya keadaan kita berbeda. Aku berusaha tersenyum, meski rasanya senyum itu hanya bisa membuat bibirku robek. Ini menyakitkan, sungguh.
“Harusnya ngga kayak gini kan?!?!” tiba-tiba saja aku mendengar suara Ihsan mengomel di sebelahku. “Harusnya hasilnya bukan kayak gini kan?!?” Ihsan menoleh padaku yang dalam sekejap langsung menghentikan tangisanku.
Aku menatap mata Ihsan yang sungguh penuh amarah dan kebencian. “Gue yakin, Ka. Hasilnya ngga seharusnya begini! Harusnya semuanya…” omel Ihsan di depan wajah Azka.
“Ya udah, San! Walopun lo marah-marah kayak gitu, lo mau ngapain? Lo bisa apa buat ngubah semua hasilnya hari ini?!?” Indy ikut-ikutan naik darah dan berteriak di hadapan Ihsan.
Ihsan menghentakkan kakinya ke tanah, membuktikan kekesalannya yang sudah memuncak.
Aku hanya bertanya-tanya di sela tangisanku, “Dimana yang namanya keadilan?”. Akupun menghapus air mataku dan terus berusaha untuk tersenyum pada mereka yang beruntung.
“Gue ngerti, pasti beban lo lebih berat daripada beban gue. Tapi, jangan nangis lagi ya Rin. Buktiin kalo lo kuat.” Ihsan berbicara pelan di sampingku.
Setan menguasai hatiku saat itu. Aku hanya membalas nasihat dari Ihsan dengan ucapan,
“Keadaan kita berbeda, San. Lo menang dan gue kalah dengan cara yang ngga adil. Awalnya kita memang sama-sama berjuang, tapi semuanya berbeda saat lo dan yang lainnya harus maju duluan, meninggalkan gue, dan semuanya hanya karena sebuah ketidakadilan.” Aku menghela napas sejenak dan aku katakan lagi “Keadaan kita berbeda, San.” Satu tetes air mata pun jatuh lagi. Indy langsung menghapusnya, aku tersenyum nanar.
Ihsan menoleh ke arahku sebentar.
Lalu perkataannya kali ini berhasil mengusir jutaan bisikan setan di hatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar