"Bersyukurlah, karena hidup tak akan pernah sempurna"
Matahari yang jingga kemerahan mulai
meredupkan sinarnya di horizon barat sana. Berganti tugas dengan bulan untuk
menyinari bumi ini. Tak lebih dari satu jam, cahaya matahari benar-benar sudah
tergantikan dengan cahaya bulan yang tak kalah indah, meski cahaya bulan itu
semu. Pemberian dari sang matahari. Memang selalu ada yang istimewa dari
ciptaanMu, Tuhan.
Adzan maghrib mulai berkumandang. Ah, terasa
damainya. Adzan selalu mengingatkanku pada nasihat ringan sahabatku, Nayasa.
Dia memang unik. Dia bisa menjadi sangat bijak atau bahkan sangat konyol. Dia pernah
berkata padaku,
“Eh, udah adzan tuh. Allah manggil kita buat
shalat, belum manggil kita buat pulang. Yuk, shalat dulu,” kata Nayasa sambil
bangkit dari duduknya saat dia menginap di rumahku beberapa bulan yang lalu.
Awalnya aku mengernyit tidak mengerti, belum
manggil kita buat pulang? Tapi hanya dalam hitungan detik, aku pun
mengerti. Aku hanya tersenyum. Ah, Nayasa. Nasihat ringan yang luar biasa.
Satu dari beberapa hal yang patut aku syukuri
adalah bahwa aku dilahirkan dari keluarga yang berkecukupan. Aku tidak perlu
takut memikirkan makan apa aku hari ini atau memikirkan apakah aku bisa
melanjutkan sekolah sampai ke perguruan tinggi. Allah memberi kami rezeki yang
cukup. Ini nikmat yang luar biasa. Aku memang bukan manusia sempurna. Tidak ada
manusia sempurna, bukan? Aku hanya sedang mencoba mensyukuri apa yang ada,
bukan menyesali apa yang terjadi. Aku selalu berdoa agar setiap kebahagiaan
yang aku dapatkan hari ini bukanlah kesedihan yang akan aku dapatkan di masa
depan. Hidup ini terus berputar, sehingga apapun bisa terjadi. Ya, aku adalah
aku. Satu diantara ribuan, jutaan, puluh jutaan, milyaran orang yang masih
diberi kesempatan untuk melihat dengan dua mata yang bisa melihat betapa
indahnya dunia ini, dua telinga yang masih bisa mendengar syahdunya gemericik
air wudhu, dua kaki yang masih bisa berfungsi dengan baik supaya aku bisa
menikmati hidupku, satu hidung yang masih bisa menghirup segarnya udara pagi,
satu mulut yang masih bisa berbicara untuk mengejar dan memprotes arti sebuah
keadilan, dan juga dua tangan yang masih bisa menuliskan semua cerita hidup
ini.
Jadi, apa yang harus aku keluhkan? Jawabnya
adalah “tidak ada”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar